Update: Pasar Buku Kota Medan pindah ke Lapangan Merdeka Medan.
Selamat Datang di Pasar Buku Kota Medan, Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun. Membaca tulisan tersebut terasa lain jika dibaca dari sisi berbeda. Pasar dalam Bahasa Medan artinya jalan, pasar hitam berarti jalan raya. Bukan pasar dalam arti tempat berniaga. Tempat berniaga (berjualan) disebut pajak.
Jadi, jika dibaca ulang keterbacaannya menjadi “Selamat Datang di Jalan Buku atau Selamat Datang di Pajak Buku.” Lantaran sudah banyak yang mahfum, maka menjadi maklum, pasar itu pajak, pajak itu pasar.
Mengunjungi pasar buku Kota Medan yang baru, sedikit berbeda dari generasi sebelumnya yang berada di Titi Gantung, lalu pindah ke Lapangan Merdeka. Tidak ada keterangan pasti apakah penjual buku yang sejak tahun 70-an dulunya berada di Titi Gantung pindah ke Lapangan Merdeka dan sekarang pindah lagi ke tempat yang baru di Pasar Buku.
Terasa sekali, semakin langka menemukan buku-buku langka yang diperjual-belikan di pasar buku. Bagi peminat buku antik bertema filsafat, sejarah, budaya, mitologi legenda, agama dan spiritual. Niscaya, kalau berkunjung ke Pasar Buku di Kota Medan bisa-bisa patah asa, macam tak ada muruah (kehormatan diri).
Barangkali, Pasar Buku di Kota Medan hanya cocok bagi pembaca pemula atau anak-anak muda-mudi yang sedang menempuh studi. Tidak begitu cocok untuk pembaca atau penulis nomor wahid yang mengutamakan kualitas di atas kuantitas. Tetapi, selera setiap jiwa berbeda-beda untuk apa dipersoalkan. Emas berpeti, kerbau berkandang, masing-masing orang, lain yang diminati lain yang disenangi.
Terpercik permenungan, bagaimana cara para penjual buku tersebut bertahan hidup di tengah derasnya arus Google Buku (Google Books), e-book yang bisa diunduh secara leluasa, smartphones berisi database buku-buku best seller.
Kemerosotan penjualan buku, bukan saja dialami oleh penjual buku tetapi juga penerbit buku. Sejumlah penerbit kini bukan lagi gulung tikar tetapi sudah “gulung karpet” karena kepepet, tak tahan dengan tingginya ongkos produksi harga kertas melambung tinggi, tambah lagi sepinya minat pembeli. Ketahuilah, minat baca masyarakat masih tinggi, tetapi daya beli jauh panggang dari api.
Khusus penilaian tempat (lokasi) Pasar Buku Kota Medan yang berada di Jalan Pegadaian, pertemuan antara Jalan MT Haryono dan Jalan Pandu. Dari sisi tempat (lapak-kios) bagus dan bersih. Percayalah, pemburu buku sejati tak melihat itu semua. Kemudian dinding belakang kios pedagang buku berhadapan dengan rel kereta api yang setiap hari dilewati oleh kereta api.
Posisi Pasar Buku sangat representatif karena tersendiri tetapi dari sisi lain penjualan barangkali kurang menguntungkan bagi pedagang buku karena tidak dilewati oleh angkot. Pengunjung harus menyeberang di tengah volume kendaraan yang super kencang dan itu sulit sekali kecuali ada kereta api lewat. Hal ini dialami sendiri oleh penulis ketika akan menyeberang dari Jalan MT. Haryono atau dari Jalan Pandu.
Terlepas dari itu semua, tidak bijak rasanya untuk saling menyalahkan suatu buku tidak laku apakah karena tempat, harga, mutu buku, dan lain sebagainya. Terlalu banyak variabel yang menyebabkan sebuah buku laku atau tak laku. Sebab, secara kodrati pola atau gaya pembaca zaman sekarang pun sudah berubah drastis. Dari buku konvensional (edisi kertas) kepada buku digital. Buku tetaplah buku apapun bentuknya, buku adalah jendela ilmu.
Tak terasakah oleh kita kedan-kedan (sohib-sohib) SeMedan.com bahwa, ketika tahun sudah bertukar kurun 2015-2016. Tidak ada lagi buku-buku tentang Sejarah Kota Medan dan Sumatera Utara. Padahal buku adalah pegangan untuk identitas sebuah kota yang melegenda (urban legend). Jangan sampai Kota Medan mempunyai ciri khas tetapi tidak punya identitas. Ironi.
Video: Gerbang Pasar Buku Kota Medan
\
Komentar