“Botot” kedengarannya hina serta tidak mendatangkan profit. Kalau dicermati,“botot” tak ubahnya upaya peduli lingkungan dengan cara memulung dan memungut, memisahkan dan memilah sampah. Umumnya sampah berasal dari limbah rumah tangga, pinggir jalan, tong sampah, ruang publik, sisa perlehatan acara 17-an dan lain sebagainya. Pendek kata, sampah non-organik seperti AMDK (air minum dalam kemasan), kaleng, kertas, koran, karton (kardus), besi, plastik, tembaga, logam, seng, semuanya bernilai.
Ketika sampah-sampah dijual, hasilnya bisa untuk apa saja termasuk membeli emas. Inilah yang dimaksud mengubah sampah menjadi emas. Dan untuk Kota Medan jangan ditanya lagi berapa banyak orang yang menyandarkan hidup sebagai tukang botot dan tauke rongsokan. Saking banyaknya pengusaha botot, sampai-sampai ada pameo yang menyebutkan, Medan Kota Botot.
Setelah memungut, memulung, memisahkan, mencuci, lalu dijual ke depo “Botot.” Harga benda rongsokan bisa lebih tinggi dua kali lipat di pabrik pengolahannya langsung. Tetapi, hitungan bisnisnya sama saja, perlu transportasi untuk membawa ke peleburan daur ulang di kawasan Cemara Asri, Belawan dan Diski.
Bekerja sebagai tukang “Botot” demi mencari nafkah hidup sungguh mulia daripada menjadi peminta-minta atau koruptor. Jika hendak jadi agen “Botot,” jadilah agen yang baik, bukan dari hasil mencuri atau menjadi penadah barang curian. Usaha yang baik akan mendatangkan berkah yang baik.
Sampah yang tadinya “sampah” kini menjadi bernilai ekonomis dan membawa berkah. Memungut, memulung, memilah dan membersihkan sampah plastik dapat menjadi sarana untuk melatih kesabaran batin.
Baca juga:
Medan Kota Hujan dan Rawan Banjir
Komentar