Sepagi ini sudah berada di Sungai Mati. Awan berkabut menutupi dahan. Gerimis dan embun dibakar matahari. Kendaraan mulai ramai. Waktu enggan menunggu. Berpikir sejenak melihat keadaan sekitar, menunggu narasumber yang bisa mempertemukan para pencari bunga kuburan.
Kamboja dan Melati yang laku dijual untuk bahan utama parfum-wewangian. Apa hendak dikata, ternyata yang ditunggu belum berjodoh untuk berjumpa.
Dari cerita mulut ke mulut, tanah wakaf Pekuburan Mandailing katanya sudah ada sejak tahun 1920-an. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, kehadiran orang Mandailing (Tapanuli Selatan) di Kota Medan banyak sekali memberi nuansa keilmuan, terutama di bidang penyebaran Agama Islam.
Apalagi profesi orang Mandailing jarang menjadi pekerja kasar. Umumnya orang Mandailing menjadi guru besar, ulama yang disegani, ustad dan tuan kadi nikah, penulis dan pengarang, pemilik penerbitan dan percetakan buku, pengacara dan tokoh politik.
Kini, di Tanah Wakaf Perkuburan Mandailing Jalan Brigjend Katamso, Kelurahan Sei Mati, Kec. Medan Maimun ada sejumlah orang yang “katanya” mencari nafkah dari hasil memungut bunga kamboja dan bunga melati di kuburan.
Memang, di sejumlah tempat seperti Pulau Jawa dan Sumatera harga bunga kamboja perkilonya dapat mencapai belasan ribu rupiah, bahkan mungkin lebih.
Sayang seribu kali sayang, menantikan para pencari bunga kamboja dan bunga melati yang ditunggu-tunggu tak jua hadir dalam pandangan mata atau mungkin datangnya kepagian. Mudah-mudahan esok hari dapat bertemu dengan mereka para pencari bunga kamboja. Tentunya, kisah-kisah inspiratif dan sarat nilai kehidupan bisa digali dari mereka yang mencari bunga melati. Semoga dipertemukan!
Komentar