Dahulu, kalau ada yang bertanya, “Tinggal di mana?” Dijawab, “Tinggal di komplek DPR.” Orang sudah paham yang dimaksud DPR adalah singkatan dari Daerah Pinggiran Rel alias permukiman kumuh. Lain dahulu, lain sekarang.
Kini, rumah-rumah di pinggiran rel ibarat intan yang memiliki nilai jual. Permukiman liar dan kumuh di kawasan pinggiran rel kereta api, gagal dibongkar dan ditertibkan. Ruang publik berkelanjutan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Kehidupan masyarakat urban semisal Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Kota Medan yang menetap di permukiman pinggiran rel kereta api umumnya serupa terkesan miskin, kumuh dan awut-awutan. Kalau di Kota Medan, sebenarnya tidak semua demikian keadaannya.
Ketika SeMedan.com bersilaturahmi kepada satu di antara sekian warga permukiman pinggiran rel kereta api yang berdomisili di sepanjang lintasan rel kereta api Jalan Gaperta Medan. Ada juga rumah-rumah yang isinya lengkap: kompor gas, kasur, kulkas, kipas angin, alat komunikasi android, becak, sepeda motor, mereka memiliki pekerjaan, dan punya hewan piaraan.
Jika begitu keadaannya, tentu tak bisa kita sebutkan orang-orang yang tinggal di pinggiran rel adalah orang miskin. Bukankah definisi miskin itu abstrak dan pengertian kaya itu absurd! Ada yang kaya tetapi masih selalu berkekurangan, ada yang berkekurangan tetapi selalu merasa tercukupkan. Potret manusia yang tinggal di Daerah Pinggiran Rel (DPR), kompleks!
Pernah juga, SeMedan.com bersilaturrahim ke perumahan DPR (Daerah Pinggiran Rel), ada sebuah rumah yang dihuni oleh tiga orang. Ukuran ruangannya 2 x 2 meter, di situ dapur, di situ kasur, di situ ruang segala-galanya. Kalau mau BAB tinggal cari tempat di sekitaran rel atau di mana saja yang tidak terlihat orang. Orang melihatnya bukan rumah, tetapi bagi mereka itu rumah.
Tetapi, terus terang dari pengamatan SeMedan.com, sekumuh-kumuhnya perumahan DPR (Daerah Pinggiran Rel) mulai dari Binjai sampai Medan sebagian besar, rumah tersebut tidak ada rumah kardus yang mirip kakus, melainkan sudah beratap seng dan rumah batu atau kayu, bukan berbahan kertas karton macam yang kita tengok di tipi-tipi (tv).
Komentar