Pertama kali memandang Sungai Sirahar rasanya seperti melihat lukisan panorama alam. Air sungai mengalun tenang, desir air menerpa batu, awan-awan ditundukkan, dan langit seakan berhias surga dan mimbar-mimbar mutiara. Di ufuk terjauh gunung-gunung di tancapkan sebagai paku. Di seberang sungai, kelapa muda menghijau, buahnya meranum. Dan di bibir sungai, daun-daun kering berguncang menantang angin.
Boleh kita puji sungai yang indah, tetapi ingat siapa yang menciptakan sungai yakni, Allah SWT, Rabb Semesta Alam. Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan keindahan Sungai Sirahar di Aek Dakka Bulu Duri, Barus Tapanuli Tengah.
Aek Dakka dalam terjemahan bahasa setempat adalah air yang bercabang. Aliran Sungai Sirahar memiliki percabangan. Sungai Sirahar bermuara ke Laut Barus di Pasar Tarandam dermaga lama. Sedangkan Bulu (h) Duri adalah nama suatu kawasan yang berada di Jalan Syaikh Rukunuddin, terusan Jalan Fansuri Padang Masiang Barus.
Kadang-kadang disebut Bulu atau Buluh, tetapi yang jelas maksudnya adalah untuk menyebut rimbunan bambu yang ditumbuhi duri.

Air Sungai Sirahar dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Allah SWT memberikan rezeki berupa batu-batu kerikil yang dapat digunakan untuk menambah penghasilan penduduk setempat. Di Sungai Sirahar dilarang menggunakan alat berat pengeruk batu dan pasir. Warga menggunakan truk kecil dan memecah batu secara manual tradisional. © Syukur Abdullah.
Dakka dalam bahasa lain adalah nama ibukota di Bangladesh. Memang demikianlah di Kota Barus, ada Kampung Portugis, India-Pakistan-Bangladesh, Belanda, dan kampung-kampung dari suku bangsa berbeda-beda. Hal ini wajar saja, mengingat Barus sebagai sebuah kota peradaban yang sudah berusia ratusan tahun.

Batu-batu besar disusun dan diikat kawat di sepanjang bantaran Sungai Sirahar digunakan untuk penahan banjir. Di antara batu tersebut ada tangga naik dan turun untuk warga memanfaatkan kebutuhan air sungai. Apabila air sedang surut umumnya antara penduduk satu kampung dengan kampung yang lainnya menyebrangi sungai dengan berjalan kaki. Sungai Sirahar memisahkan Kampung Bulu Duri dan Bunga Tanjung. © Syukur Abdullah
Menurut orang tempatan, setahun sekali terjadi banjir besar sampai meruap tak terbendung, merendam jalan, menggenangi Musholla Papa Dolo di Aek Dakka Bulu Duri. Tetapi, Allah Maha Kuasa, makhluk tidak kuasa, ketika banjir tiba tidak ada seorang pun warga yang tewas tenggelam.
Sekalipun Sungai Sirahar nampaknya berarus tenang, tetapi ketika terjadi hujan di gunung, maka dengan cepat air sungai berubah warna coklat dan keruh. Padahal semula airnya terasa sejuk dan menyejahterakan. Keindahan yang tadinya melekat di pelupuk mata, kini menjadi suram seketika. Demikianlah suatu keadaan dan suasana, selalu berubah-ubah tanpa manusia bisa mengendalikannya.
Komentar