Sesungguhnya kejayaan dan kegemilangan suatu kota-kota di dunia sudah banyak dituliskan dalam buku-buku. Di zaman kuno, sebuah kota berada dalam dinding benteng-benteng kokoh, yang juga digunakan sebagai tembok pertahanan.
Setiap kota mencerminkan keadaan geografis dan sejarah. Setidaknya, kota adalah akulturasi populasi yang membentuk masyarakat baru.
Di seluruh dunia, Medan sebagai sebuah kota tercantum juga sebagai kota tua yang menyumbangkan banyak khazanah terhadap pembauran etnis-etnis dari kulit bangsa-bangsa berbeda.

Jembatan Jalan Kejaksaan. Di tepi Sungai Babura terdapat satu masjid tua, Masjid Ubudiyah dan Taman Kebun Bunga Medan, Museum Tjong Yong Hian. © Setiadi Rachmat Saleh
Baca juga:
Taman Kebun Bunga Medan, Museum Tjong Yong Hian
Waren Huis Jalan Hindu Medan, Toserba Zaman Belanda 1919
Ada satu suasana, setidaknya sampai tahun 1990-an masih sangat mudah sekali menemukan orang-orang Eropa (Belanda, Perancis, Jerman) di sekitaran Masjid Raya.
Sebab, travel agent masa itu berkumpul di sepanjang Brigjend Katamso yang dekat dengan Bandara Polonia. Tahun 2000-an jarang sekali melihat turis di sekitar Masjid Raya, Lapangan Merdeka, Katamso. Jumlahnya merosot drastis.
Medan, kota yang modern dan jaya, telah terkenal sejak ratusan tahun sebagai kota tempat mengadu nasib dan berjuang mencari nafkah, baik bagi buruh kasar maupun buruh halus, dan juga menjadi sasaran pelancong (tourist) dari dalam dan luar negeri.
Kini Medan sudah jauh berbeda dan berubah. Tidak ada apa pun yang tersisa dari jejak tapak kota Medan yang dahulu begitu dikagumi. Seakan-akan tidak ada yang namanya masa lalu tersebut.

Warga memanfaatkan aliran Sungai Babura untuk kebutuhan MCK (Mandi-Cuci-Kakus). ©Setiadi Rachmat Saleh
Oleh karena itu melalui foto sederhana, penulis mencoba mengabadikan kepingan sisa-sisa sudut Kota Medan. Barangkali, kata-kata yang tepat untuk mewakili keadaan Kota Medan saat ini adalah “Selamat Berpisah Kota Medan Masa Silam.
Komentar