Malam itu, seorang masinis sedang menyupir kereta api Kinantan jurusan Medan-Rantau Prapat. Kereta api meluncur seperti “naga besi” yang berlari cepat di bantalan rel. Masinis fokus mengawasi jalan. Dari kaca jendela depan tampak jelas jalan-jalan terbentang sunyi. Rumah-rumah penduduk terlewati.
Palang-palang kereta tertutup rapi. Pohon-pohon sawit, pohon rambung [karet], kelapa dan pisang bagaikan bangunan-bangunan hitam tanpa penerangan. Sorot lampu berkekuatan 5000 watt yang terpancar dari kepala lokomotif terus menemani.
“Naga besi” seakan menjadi raja yang mencari lawan tanding. Angin malam menyusup di antara ruang kemudi. Teman sesama masinis sedang tertidur untuk rehat sejenak. Saat-saat menyetir kereta api. Juli selalu berzikir dan membaca ayat-ayat Tuhan.
Karena ia sadar hanya itulah benteng serta senjata untuk menemaninya mengemudikan naga besi. Apalagi saat-saat malam hari, di mana sepi dan sunyi menjadi nyanyian hati.
Senior Juli sudah menasihati, jika melewati tempat-tempat tertentu yang dianggap “rawan” sebaiknya hidupkan dan bunyikan klakson sebagai tanda permisi. Juli tak percaya hal tersebut.
Sampai akhirnya, pada suatu malam. Ia lupa tepatnya tanggal berapa, “Kejadiannya pas aku bawa Kinantan, jurusan Medan-Rt. Prapat, 4 gerbong. Jarak tempuhnya jauh, lari keretanya pun cepat. Daerahnya sebelum Kisaran. Belum sampai Sei Bejangkar. Sebelumnya sudah dibilangi senior. Kau kalau lewat tempat situ kasih klakson. Kuanggap mitos aja.
Tempatnya sawit-sawit. Entah macam mana. Aku dengar dari pintu kabin ada yang masuk dan berdiri di samping aku. Kawanku lagi tidur, istirahat. Wajahnya, gak berani aku lihat. Udah merinding semua. Kuliat pakaiannya batik. Gak bisa ngomong aku. Baca doa pun tak bisa. Keluar gitu aja dari mulutku ngomong bahasa Jawa.
Kira-kira kalau diartikan, maaf mbah tadi gak permisi, gak hidupin klakson, lupa mbah. Dengar aku dia jawab hmm. Habis itu dia jalan di depan kereta. Coba kau pikir, kalau manusia tak mungkin bisa jalan secepat itu.” Kata Juli meyakinkan.
Saat Juli menceritakan hal ini. Tiba-tiba saya merinding. Juli pun merinding. Ada suasana serta aura yang lain. Juli melanjutkan cerita, “Makanya kalau malam gak usahlah cerita-cerita gitu pasti terikut. Kalau bawa kereta api sebaiknya jangan emosi. Kalau ada kesal atau apalah, sebelum berangkat selesaikan dulu.”
“Setelah kejadian itu gimana?” Tanya saya penasaran dengan cerita Juli.
“Lewat situ lagi aku pasti klakson. Ada lagi tempat-tempat lain seperti di Tebing. Aku gak mengalami apa-apa. Tapi, kalau gak klakson. Ada saja masalah, lepas coknya, jatuh sekringnya, mau dia ganggu kita. Kereta api bisa rusak. Aku kadang dengar ada yang tertawa ngikik nyaring, atau suara-suara seperti tawon. Mau dibilang gak percaya, aku mengalaminya sendiri. Kalau aku cerita sama orang mungkin dianggapnya halusinasi atau ilusi. Padahal jelas-jelas nyata.
Pernah juga di daerah sekitar Tebing juga kalau gak salah. Ada dua bukit. Rel kereta apinya di tengah-tengah. Ada perempuan jalan, tembus dari satu bukit ke bukit yang satunya. Coba kau pikir itu, kalau orang gak mungkinlah. Yang jelas itu bukan manusia. Biar bagaimanapun. Dunia malam itu milik mereka.” Kata Juli seolah tak ingin melupakan detail kejadian tersebut.
Komentar