150 tahun silam (1865-2015), ketika Kerajaan Asahan dianeksasi oleh kompeni terjadi perombakan struktur kekuasaan dengan terbentuknya Afdeling Asahan yang berpusat di Tanjung Balai. Saat itu, Asahan dibagi menjadi tiga wilayah yakni, Onder Afdeling Batubara, Asahan, Labuhan Batu. Secara vertikal kekuasaan terhubung kepada kompeni, sementara yang horisontal berhubungan dengan masyarakat dipegang oleh kerajaan, kesultanan.
Serupa tapi tak sama dengan yang di Indonesia. Kerajaan Melayu hanya ditempatkan sebagai fungsi filosofi dan budaya. Hal ini terlihat dari jika Budaya Melayu diganggu, maka seluruh Melayu, belum dicolek sudah meradang. Namun, tidak demikian dalam gambaran kekinian dalam kesultanan terjadi pengerdilan politik praktis-strategis.
Laksana ruas bertemu buku, seakan ada ruh kerajaan dalam raga republik dan ada ruh republik dalam tubuh kerajaan. Akibatnya terjadi ketidakpedulian terhadap narasi sejarah (history passiveness), khususnya Sejarah Melayu. Antara republik dan kerajaan berputar dalam porosnya masing-masing. Manalah mungkin menyatu, berkumpul bersekutu. Sebab, dari titik awal “berlayar” sudah berbeda, berbeda pula “tangkahannya.”
Marilah retrospeksi sejenak mengingat proses lahirnya Kota Seribu Sungai-Tanjung Balai. Disebut seribu sungai bukan berarti sungainya banyak berjumlah seribu, melainkan di mana-mana terdapat jembatan seolah di mana-mana ada alur sungai.
Padahal yang mengalir melintasi Kota Tanjung Balai adalah Sungai Asahan dan Sungai Kepayang. Jangan coba-coba berkeliling di Kota Tanjung Balai sendirian bisa tersasar karena antara satu jembatan dengan jembatan lainnya sangat mirip.
Dari sejarahnya, tahun 1612 Sultan Iskandar Muda dari Aceh berlayar ke Johor Malaka. Kemudian di tengah perjalanan tetirah sebentar di hulu Sungai Asahan. Perjalanan berlanjut sampai akhirnya tiba di penghujung tanjung, pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau. Karena niatnya istirahat, Sultan Iskandar Muda membuat balai yang menghadap ke laut.
Setelah pernikahan Sultan Iskandar Muda dengan Siti Ungu Selendang Bulan. Dari sini berkembang sebuah menjadi perkampungan sampai akhirnya terdapat sebuah kerajaan bernama Asahan diperintah oleh Sultan Raja Abdul Jalil I (1630) sampai seterusnya. Saat itu penguasa setempat adalah Raja Margolang, raja yang mengenakan gelang.
Tidak mengherankan jika di Tanjung Balai sekarang banyak orang Batak. Karena memang sudah dari awal bermukim, sedangkan Bangsa Melayu yang ada di Tanjung Balai berasal dari Semenanjung Malaka. Lebih spesifik silakan lihat literatur, tulisan ini bersifat pengantar saja.
Kiranya istilah Batak sengaja diciptakan oleh kompeni untuk mengadu domba dengan Melayu. Selain Melayu disebutnya Batak. Padahal menurut Daniel Perret, istilah Batak maupun Melayu bukanlah label etnik (indikator suatu masyarakat). Tetapi label budaya (civilized and uncivilized).
Uniknya lagi, di dalam masyarakat Tanjung Balai ada sebuah istilah “masuk Melayu” untuk menandakan anak yang disunat (khitan). Kemudian sebagian orang Tanjung Balai menyebut orang yang beragama Kristen sebagai orang Batak. Padahal ia juga orang Batak beragama Islam.
Jadi, di sinilah terbentuknya suatu kondisi Batak termelayukan atau Melayu terbatakkan (jika memang istilah ini dipandang tepat). Belum pernah ada konflik antar antara Melayu dan Batak, segalanya serasi. Bahkan orang Batak bisa menjadi lebih Melayu daripada orang Melayu sendiri.
Baca Selanjutnya: Profil Wak Uteh dan Group Musik Roncah Tanjung Balai
Mencari Melayu di Kota Seribu Sungai Tanjung Balai adalah sebentuk upaya untuk merengkuh identitas Melayu yang terbarukan melalui kekinian. Dapatkah kita temukan identitas Melayu Pesisir Tanjung Balai tanpa belajar sejarah?
Semoga di masa mendatang ciri khas Kota Kerang tidak hilang. Selain itu, Tanjung Balai adalah kota kuliner yang menyimpan banyak makanan istimewa seperti Ikan Sombam, Nasi Goreng Kampung, Roti Prata, Roti Jala, Gulai Asam Pedas Ikan Patin, Mie Lendir, Lemang, Siput Sedot Gobak Sagu Lendot, Laksa Sagu, Siput Gong-gong, Mie Siam Kuning, Kue Putu Piring, Nasi Lemak, Pacri Nanas, Kue Pulut Berinti, Bubur Pedas, Ikan Asam Mayung, Anyang Pakis, Anyang Kepah, dan teramat banyak lagi yang bisa disebutkan.
Dan kalaulah tidak karena sayang kepada Melayu Pesisir Tanjung Balai, takkanlah jadi tulisan ini. Oleh karena itu, semoga ke depannya anak-anak muda Tanjung Balai bisa mengemudikan zaman dan berbicara lebih banyak tentang Tanjung Balai, Kota Seribu Sungai.
Baca juga:
Berwisata ke Sungai Silau, Dari Asahan ke Tanjung Balai
Wak Uteh Tanjung Balai, Legenda Baru di Dunia Musik Melayu
Satu Jam Lebih Dekat Dengan Saini Wak Uteh, Dalam Lagu Tersemat Hikmah
Zoel Vandawa Entertainment, Rumah Produksi Berkualitas di Tanjung Balai
Komentar