Perjalanan dari Medan ke Irian Barat tidak perlu naik pesawat. Cukup lewat jembatan penyeberangan, caranya dari Kesawan Medan naik ke Titi Gantung. Ikuti terus jalannya sampai kemudian melewati sejumlah pedagang buku bekas. Setelah turun dari Titi Gantung, sampailah di Irian Barat. Tetapi, bukan di Kota Irian Barat (Irian Jaya) yang sekarang bernama Papua. Melainkan di sebuah jalan bernama Irian Barat.
Di Jalan Irian Barat terdapat sebuah bangunan megah yang sering menjadi objek foto pelancong domestik dan mancanegara. Barangkali sudah ratusan orang yang penulis tanya tentang nama bangunan tersebut. Termasuk teman-teman Tionghoa yang ada di Medan. Tidak satu pun yang berhasil menjawab dengan tepat dan benar.
Bangunan apakah itu? Apakah vihara (wihara), temple, kuil, kelenteng, bio, rumah abu atau semacam dormitori untuk menimba ilmu dari ajaran Buddhayana, Mahayana, Theravada, Tantrayana.
Berdasarkan secuil pengetahuan yang penulis miliki. Antara vihara, kuil, kelenteng, dan rumah abu sebenarnya berbeda dari segi konstruksi arsitektur dan fungsi. Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha (temple-kuil). Klenteng merupakan rumah ibadah penganut Taoisme, Khonghucu. Tetapi, di Kota Medan di dalam satu vihara bisa terdapat dua ajaran.
Untuk melihat dari dekat bangunan yang menyerupai vihara tersebut dapat melewati sebuah jembatan penyeberangan (Titi Gantung) yang membentang di atas rel kereta api. Titi Gantung dibangun tahun 1885 (103 tahun silam).
Umur Titi Gantung hampir setara usia Istana Maimun. Banyak kenangan warga Kota Medan akan Titi Gantung terutama generasi tua. Titi Gantung sangat strategis menghubungkan banyak tempat bersejarah di sekitar Kesawan dan Lapangan Merdeka Medan.
Dahulu Titi Gantung tempat tujuan mencari buku baru dan buku bekas. Sekarang pedagang buku sudah berkurang dan dipindahkan ke tempat lain karena oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, Titi Gantung dimasukkan dalam situs cagar budaya. Dikhawatirkan akan “merusak” Titi Gantung.
Faktanya, ada atau tidak pedagang buku. Titi Gantung tetap saja kusam, lusuh, catnya mengelupas, dan hampir pasti tidak ada perawatan yang berarti. Tambah lagi grafiti tangan-tangan usil mencoret tepat di atas prasasti yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan. Memalukan!
Satu hal yang belum berubah sejak dahulu. Titi Gantung masih menjadi tempat hiburan murah membawa keluarga jalan-jalan sore sambil menikmati sate kerang, sate telur puyuh, mie lidi, pecel, bakwan atau tahu goreng siram kuah cabe rawit.
Minumnya teh manis atau kopi, es cendol atau es serut yang esnya diparut. Sesekali kereta api penumpang dan kereta api barang lewat mondar-mandir, suaranya khas sekali.
Baca juga: Stasiun Kereta Api Medan, Berubah Tanpa Rekaman Jejak Sejarah
Saat hari mulai senja, sinar mentari meredup. Awan biru perlahan mulai berubah. Dan burung-burung srigunting terbang berputar bersama angin sore. Suasana inilah yang dicari pengunjung. Terlebih lagi bepergian dengan orang yang kita sayangi.
Secara psikologis sebagian orang menyukai melihat kereta api, baik anak-anak maupun orang dewasa. Lebih baik datang ke tempat sederhana tetapi memiliki kesan mendalam. Daripada datang ke tempat mewah, pulangnya marah-marah.
Titi Gantung Sabtu sore menjelang malam Minggu. Padat oleh sepeda motor “berselemak” di mana-mana. Tidak kehabisan akal, jok kereta (sepeda motor) dijadikan kursi memadu kasih. Masing-masing sejoli membawa pujaan hati.
Asmara bergelora di jantung sanubari. Tidak tau lagi membedakan nafsu hewani, cinta murni atau rasa sayang. Segalanya harus ditumpahkan seakan-akan tidak terbendung lagi.
Ke depannya, semoga Titi Gantung sebagai landmarknya Kota Medan tidak sekadar sepenggal sejarah cerita Medan yang mulai dilupakan orang.
Revisi. Vihara Kwan Te Kong
Komentar