Sekitar jam 11.40 kami meninggalkan Rantau Panjang Peureulak, Aceh Timur dengan sepeda motor yang kami carter (sewa) selama 2 hari menuju arah ke Lhok Sukon Aceh Utara. Setelah Shalat Zuhur di Desa Alu Bu Peureulak Barat, mengisi bensin di Desa Lemok Meuke, lalu makan siang di Kota Idi.
Setelah Shalat Zuhur kami meneruskan perjalanan sampailah kami di Peudawa. Di pinggir jalan raya terdapat Kantor Kapolres Kab. Aceh Timur, kemudian kami tiba di Idi dan makan siang di warung pinggir jalan. Setelah selesai makan siang, sekitar jam 14.20 kami meninggalkan Idi menuju Kec. Alue Iee Puteh menemui sahabat kami Tgk Ali Idris karena beliaulah yang tau lokasi Desa Sijuk tersebut.
Dari Kota Idi, perjalanan dilanjutkan melewati Simpangulim yang sepanjang jalan banyak terdapat pedagang buah-buahan, termasuk oleh-oleh khas Aceh Pisang Salee. Kota selanjutnya adalah Pantonlabu (Aceh Utara) melewai Sungai Jamboaye (jambu air).
Perjalanan ke sini (Alue Ie Puteh) sekitar 1 jam untuk kemudian istirahat minum kopi, makan-makan kue dan membuat program kerja untuk mengetahui jenis kayu, diameter kayu dan siapa yang akan dijumpai serta apa-apa kendala di lapangan.
Sebelum memasuki Kota Cut Girek, kami melewati bentangan sawah hijau yang terhampar luas hingga menyerupai “padang rumput” dan rawa-rawa. Sepanjang jalan terdapat pula tiang-tiang listrik menuju perkampungan.
Jalan yang dilalui kami bertiga (H. Mulyadi, Ansyari dan Tgk Ali Idris) melaju dengan dua sepeda motor menuju Kota Cut Girek, dahulunya di zaman Bung Karno Cut Girek terkenal dengan Pabrik Gula.
Jarak yang ditempuh cukup melelahkan sehingga kami harus istirahat shalat Ashar di km 3 Cut Girek di mana waktu sudah menunjukkan jam 17.30 WIB.
Di Cut Girek kami mengisi bensin dan menyempatkan membeli oleh-oleh untuk orang yang akan kami kunjungi.
Istirahat 10 menit langsung tancap gas karena yang dituju masih jauh sedangkan cuaca agak kurang bersahabat. Dan jalan yang kami lalui melewati jalan berbatu-batu di mana nantinya jalan ini akan ditanam pipa-pipa gas CPM menuju Belawan Medan. Hampir 10 km jalan ini, kami melewati Desa (gampong) Abong-abong.
Ada perkampungan penduduk (kampung ramai, sawah-sawah dan hutan kecil). Dan kami juga melewati pos TNI Batalyon 113 (Rembele, Bener Meriah, Korem 011 – Kodam Iskandar Muda).
Perjalanan harus dilanjutkan walaupun sampai malam hari tiba karena kalau terlambat kami khawatir susah sampai di tempat tujuan.
Hampir Maghrib kami tiba di Desa Tanah Merah, desa ini cukup padat penduduknya, rumah rapat-rapat, hasil pertanian pinang, sawah dan hasil lain. Penduduknya campuran Suku Aceh dan Suku Gayo.
Di Masjid tanah merah ini kami Shalat Maghrib berjamaah setelah itu meneruskan perjalanan.
Cuaca berubah-ubah. Kali ini, langit menunjukkan persahabatan karena banyak bintang-bintang bergemerlapan…
Jalan yang kami lalui adalah jalan EXXON mobil sekitar 30 km menuju Desa Sijuk di mana ada peninggalannya landing helipad(landasan helikopter) melalui desa-desa dengan tanaman Jabon, Sengon, dan ada perkebunan kelapa sawit, mungkin milik PTP.
Mendekati jam 20.20 WIB sepeda motor kami lampu depannya tidak menyala sehingga dapat dibayangkan bagaimana susahnya berjalan malam hari di daerah hutan, rumah penduduk jarang, jalan mendaki hampir 300 meter. Sedangkan jalan menurun hampir 400 meter, berlumpur, becek karena hujan, sepeda motor terpaksa jalan pelan.
H. Mulyadi harus jalan kaki sepanjang itu dengan ditemani lampu senter HP untuk menghindari terperosok dalam kondisi jelek. Kedua teman saya, Ansyari dan Tgk Ali Idris sudah terlebih dahulu jalan di depan.
Saya (H. Mulyadi) yang biasa tinggal di kota, keadaan ini tentu tidak nyaman. Orang-orang di kota, jalan berlubang, penerangan tidak ada mengeluhnya panjang-panjang, sedangkan mereka di kampong harus bertahan dengan situasi dan kondisi buruk setiap harinya.
Saya tidak takut gelap, tetapi saya takut dan khawatir harimau atau hewan-hewan buas yang masih memiliki insting pembunuh alami tiba-tiba muncul di hadapan kami. Jalannya gelap sekali, gulita-pekat-hitam dan semuanya mendekatinya itu.
Bahkan kunang-kunang tidak ada, bintang-bintang menghilang entah ke mana. Satu-satunya penerangan adalah dengan menggunakan lampu senter dari ponsel.
Penerangannya sangat minim bisa dikata seperti orang buta berjalan dalam gulita. Hanya zikir kepada Allah agar batin ini kuat dan berani melewati jalan ini.
Tambah lagi kami belum makan dan minum. Kami hampir-hampir menyerah dan tidak ada jalan untuk kembali selain meneruskan perjalanan.
Komentar