Lama sudah tidak ke Lubuk Pakam rasanya seperti rindu menikam. Tidak tau ada apa gerangan? Hari itu juga sudah hampir siang, saya naik Transportasi Medan MEBIDANG, Rute Medan-Binjai-Deli Serdang. Di dalam bus, takjub sekali melihat Interior Design Bus Terbaru Kota Medan, Trans MEBIDANG, bersih dan harum.
Tadinya ke Lubuk Pakam ingin naik kereta api Sribilah Utama atau Putri Deli. Hanya saja dari rumah ke Stasiun Kereta Api Medan memakan waktu 1 jam. Kalau naik Trans MEBIDANG tinggal jalan kaki sedikit, bus lewat di depan jalan raya. Saat bus Trans MEBIDANG berjalan seperti ular raksasa merangkak di antara kendaraan lain. Barulah selepas POLDASU perbatasan Medan, bus Trans MEBIDANG melaju kencang.
Sepanjang perjalanan, pikiran saya nelangsa. Musik mengalun tenang memutar lagu-lagu lama. Saya berpikir, mengapa lagu era 70-an, 80-an, 90-an begitu menempel dalam kepala sang sopir padahal berada di kurun 2016. Sekitar 30-40 tahun berjarak waktu. Barangkali sang sopir sedang membutuhkan kenangan sebagaimana insan manusia pada umumnya.
Kota Medan dari kaca jendela bus seperti “diambil orang.” Entah siapa yang memiliki Kota Medan terkini. Nyaris, tidak dapat dikenali lagi, bangunan sejarah dirobohkan, plaza berdiri lalu mati. Di lain hal, volume kendaraan bertambah banyak sementara jalan raya kota dari tahun ke tahun tidak melebar tetapi kian menyempit, banjir di sejumlah wilayah, dan kriminalitas merebak di mana-mana. Medan mungkin rumah kita, tetapi isi rumah bukan milik kita lagi.
Di tengah perjalanan, saya buka kembali buku oranye (agenda perjalanan SeMedan). Ada sejumlah tempat yang akan dikunjungi di Lubuk Pakam yakni, stasiun kereta api Lubuk Pakam, Taman Buah Lubuk Pakam, Stadion Bola, dan Terminal Lubuk Pakam.
Lubuk Pakam adalah ibu kota dari Kabupaten Deli Serdang. Jalan raya Lubuk Pakam adalah Jalan Lintas Sumatera. Tidak banyak literatur sejarah Lubuk Pakam yang bisa dibaca dan temukan, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Belanda. Semua berdasarkan cerita orangtua yang mengatakan di Lubuk Pakam terdapat lubuk (dasar) sungai yang sangat dalam. Sedangkan Pakam adalah nama pokok kayu besar tumbuh di tepi sungai.
Dalam pendapat berbeda katanya, orang-orang Lubuk Pakam enggan merantau, hidup seperti berada di lubuk yang dalam. Sebaliknya, jika merantau tidak mau lagi kembali ke lubuk (kampung). Sedangkan arti pakam (pakem) adalah cengkraman yang kuat. Uniknya, Kota Lubuk Pakam pernah dijadikan latar film legendaris Jenderal Naga Bonar yang diperankan Deddy Mizwar.
Langit mulai hitam. Cuaca akhir-akhir sulit ditebak. Pagi panas siang hujan, pagi hujan siang panas terik. Sementara itu, orang-orang di dalam bus trans MEBIDANG sepertinya tidak terlalu terpengaruh dengan keadaan cuaca di luar, masing-masing sibuk “berselancar” dengan smartphones, kadang di antara mereka tertawa dan tersenyum sendiri, sebagian lagi tertidur.
Naik bus Trans MEBIDANG duduk paling belakang sangat mengasyikkan. Pandangan luas ke depan, kaki bisa terbujur lurus. Kalau ingin tidur gunakan sheet belt. Sebab, bangku belakang paling tinggi sehingga jika bus mendadak mengerem penumpang tercampak dan terpelanting.
Akhirnya, sampailah di Terminal Lubuk Pakam. Terminalnya sama sekali jauh dari kesan representatif dan kurang terawat. Satu persatu penumpang bus Trans MEBIDANG turun dari pintu tengah menuju tempat tujuan masing-masing.
Zuhur sudah jauh berlalu. Saya putuskan menjamak shalat terlebih dahulu baru kemudian makan siang, setelah itu keliling Lubuk Pakam. Lucunya, pipis di terminal Lubuk Pakam bayar Rp. 4.000 untuk dua kali kencing, toiletnya tidak berpintu dan menghadap ke jalan. Bagi saya yang menganut “pipis jongkok” bukan kencing berdiri karena sunnahnya demikian, toilet tersebut sangat tidak nyaman tetapi apa daya sudah terpaksa.
Selesai Shalat dan makan lalu menulis agenda. Langit semakin hitam, angin dingin bertaut membawa biji-biji gerimis. Perasaan saya sudah tidak enak, barangkali sebentar lagi hujan akan turun. Benar saja, hujan tumpah dari langit seperti ditabur, deras sekali, butirannya meruncing jatuh ke tanah.
Saya hanya termangu duduk di terminal sambil berpikir bagaimana mau keliling kota Lubuk Pakam jika sudah begini. Lama menunggu, satu jam hujan belum reda. Becak mesin tidak ada, RBT pun kosong.
Waktu Ashar sudah tiba sekitar jam empat sore. Tunggu punya tunggu, tidak juga berhenti hujannya. Akhir kata, Ufuk semakin menghitam, tidak ada tanda-tanda hujan akan usai. Saya putuskan untuk kembali ke Medan saat itu juga naik bus Trans MEBIDANG berikutnya. Mungkin lain kali saja menumpaskan rindu yang menikam di Lubuk Pakam. Saya berjanji akan kembali lagi suatu hari nanti.
Baca juga:
Transportasi Medan MEBIDANG, Rute Medan-Binjai-Deli Serdang
Interior Design Bus Terbaru Kota Medan, Trans MEBIDANG
Taman Buah Lubuk Pakam, Makan Buah Sepuasnya
Komentar