Semua ukiran dan kehidupan pada zaman megalitik di Nias Selatan, menggunakan batu sebagai unsur bahan utamanya, maka memahat batu menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Nias zaman dahulu. Proses memahat tidak hanya menghasilkan bentuk ukiran, tetapi juga bentuk-bentuk bunyi.
Terlebih pada jenis bebatuan yang dapat memproduksi bunyi bernada. Lihatlah artefak batu-batu bundar tempat perempuan dahulu menari, ketuklah, lalu dengar varian bunyi nya yang unik.
Maka orang-orang Nias Zaman dulu, dapat dikatakan tidak terlepas dari memproduksi unsur bunyi-bunyian yang khas. Dari sinilah, Feta Batu, kreasi musik dari batu itu lahir. perpaduan antara batu dan alat musik tradisi serta modern berpadu, perpaduan nada-nada peradaban.
Semenjak tahun 2003, almarhum Hikayat Manao, mencari beberapa jenis batu megalitik yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi yang berbeda, mengaransemennya kedalam musik, yang kemudian disebut Feta batu, dibawah naungan sanggar Baluseda yang ketika itu dipimpin langsung oleh Almarhum.
Feta batu ini sudah ditampilkan di banyak tempat. Sekarang, perjuangan almarhum Hikayat Manao dilanjutkan oleh keluarganya; Rel Gibson Manao. Lagu-lagu yang dimainkan dalam musik Feta batu ini, adalah lagu-lagu yang turun temurun ada.
Dengarlah lagu nenu-nenu (sifabolosi), liriknya petuah, liriknya permohonan kepada sang Pencipta, meminta berkahNYA. Orang-orang Nias adalah orang-orang yang beriman.
Dengarlah fahasara dodo; “aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso”, beban akan jadi ringan bila dipikul bersama-sama. Liriknya adalah gambaran orang-orang Nias yang terbiasa dan berbudaya gotong royong. Liriknya adalah ajaran.
Orang-orang Nias sedari dulu, bergotong royong, membangun rumah, membersihkan lingkungan, membuka ladang. Orang-orang Nias hidup dalam kebersamaan. Ajaran-ajaran kebijaksanaan hidup itu, terekam dalam Feta Batu.
Komentar