Tahun 1990-an di Pulo Brayan Medan terdapat tiga bioskop terkenal yang letaknya berdekatan. Masing-masing bioskop memutar film dengan tema berbeda. Bioskop yang satu, hobinya memutar film barat romantis, bioskop yang satu lagi hobinya film kungfu dan silat kerajaan, dan bioskop yang satu lagi, senangnya mutar film Indonesia yang komedi atau horor dengan bumbu erotis lagi seronok.
Adapun nama-nama bioskop tersebut tidak usahlah disebutkan, biar menjadi kenangan saja. Bioskop yang satu terletak di Jalan Pertempuran, satu lagi Jalan Yos Sudarso, dan satu lagi berada di pertemuan antara Jalan Pertempuran dan Jalan Yos Sudarso.
Bioskop yang terakhir disebut kursinya sofa dan empuk. Sedangkan dua lagi, bangkunya terbuat dari rotan dan kadang ada pula kepinding (kutu penghisap darah).
Tiket atau karcis nonton film pada masa itu harganya sangat murah. Bayangkan untuk Hari Senin cukup membayar Rp. 1000 perak sudah bisa menonton film sama yang diputar malam Minggu seharga Rp. 5000. Khusus nonton hari Senin disebutnya “Metin” dan entah apa artinya, entah apa pula akronimnya.
Pokoknya “metin” berarti nonton film tengah hari di Hari Senin tiketnya seribu perak.
Kalau malam hari, selesai pemutaran film bioskop rata-rata berakhir antara pukul 11-12 malam. Zaman itu, tidak ada kekhawatirkan sedikitpun terhadap tindak kriminalitas atau begal. Medan masih sangat aman.
Tahun 1990-an, jarang orang yang punya sepeda motor. Umumnya ke mana-mana naik kendaraan umum. Angkot dan sudako dahulu banyak bersileweran dari dan menuju Pulo Brayan. Maklum, tahun 1990-an Brayan dan Pajak Brayan menjadi pusat perniagaan yang ramai dikunjungi orang dari segala penjuru di Kota Medan.
Ditilik dari nama asalnya, Pulo Brayan atau Pulau Brayan berasal dari penyebutan nama Pulau Berayun. Entah ada hubungan atau tidak dengan Guru Patimpus Sembiring Pelawi yang pada tahun 1590-an menikahi seorang putri Datuk Pulo Brayan yang kemudian hari membuka pemukiman tepat di antara pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Maka, jadilah Kota Medan seperti sekarang yang kita kenal.
Kini, Pulo Brayan tidak seramai tahun 1990-an hanya menjadi kota lintas menuju pelabuhan internasional Belawan. Flyover Pulo Brayan berfungsi untuk meretas kemacetan di Jalan Pertempuran, Jalan Yos Sudarso, Jalan Marelan, Jalan Cemara, dan Jalan Bilal.
Sesekali kalau melintas di flyover Pulo Brayan sore hari atau malam Minggu banyak sekali sepeda motor berhenti. Muda-mudi mojok di atas “kereta.”
Nasib ketiga bioskop di Pulo Brayan yang dulu berjaya berubah menjadi bangunan klub malam dan gerai market. Tidak ada lagi kenangan untuk diputar.
Keadaan sudah berubah, tetapi jalan cerita kehidupan seseorang mungkin masih sama seperti dalam film. Ada nestapa, ada lara, dan ada canda tawa yang berselang-seling dengan horor drama yang mencekam.
Baca juga: Bioskop di Kota Medan Kini Tinggal Kenangan
Komentar