Tersemat rasa risau tatkala melihat robohnya prasasti NICA Medan Area yang terletak di antara pertemuan Jalan Bali dan Jalan Sutomo. Dalam prasasti tersebut tertoreh riwayat sejarah ihwal “markas nica di gedung pension Wilhelmina Jalan Bali (Sekarang Jln. Veteran), tanggal 13 Oktober 1945 digempur pemuda-pemuda Kota Medan karena seorang tentara NICA mencopot lencana merah putih dari baju seorang anak remaja yang lewat di muka markas tersebut dan menginjak-injaknya.
Melihat penghinaan NICA tersebut. 7 orang pemuda gugur. 70 orang NICA tewas dan 96 NICA lainnya luka-luka. Tertanda SK Gubsu tahun 1995.”
Gedung pension Wilhelmina Jalan Veteran sebelumnya adalah Markas NICA yang kemudian digunakan untuk aktifitas lokalisasi Belinun. Tempat kaum adam-hawa melepaskan dosa, mereguk surga. Sehingga begitu cepatnya cinta terbakar, nafsu menderu di antara relung kalbu. Malam merayapi kelam dan anak manusia hanyut dalam kesunyian masing-masing.
Kalaulah perobohan tempat lokalisasi sebagai alasan untuk membasmi penyakit masyarakat. Dapatlah diterima dengan akal sehat dan hukum positif. Lantas bagaimana dengan perobohan prasasti? Apakah pemangku jabatan setempat menganggap prasasti setali tiga uang dengan lokalisasi? Sama-sama menularkan hal tidak baik. Teraju apakah yang dapat digunakan untuk menimbang antara logika dan norma bahwa perobohan prasasti dibolehkan?
Berdasarkan catatan sajarah yang lazim beredar di kalangan akademisi Indonesia. Peristiwa Medan Area berdarah, bermula ketika sekutu mendarat di Kota Medan Oktober 1945. Kedatangan sekutu meletupkan kemarahan pemuda Medan manakala NICA berdusta yang “katanya” ingin mengawal di bidang kemanusiaan ternyata malah mempersenjatai diri.
Kemudian terjadi pula insiden ketika seorang NICA merampas dan menginjak lencana merah putih. Kedua sebab perseteruan ini kelihatan sepele jika diteropong dari format kekinian. Tetapi, pada masa itu, kehormatan diri adalah harga mati.
Inggris sebagai pihak sekutu mengeluarkan himbauan keras agar Indonesia, terutama Kota Medan menyerah dengan memasang papan instruksi berbunyi “Fixed Boundaries Medan Area.” Himbauan sekutu rupanya disertai serangan pada Desember 1945 sehingga April 1946, Kota Medan dikuasi oleh sekutu.
Melihat hal ini, Barisan Pemuda Indonesia di Kota Medan yang juga berisi kumpulan pemuda-pemuda tangguh, mati-matian baku hantam melakukan perlawanan terhadap sekutu sehingga terjadilah pertempuran sengit yang dicatat sebagai peristiwa bersejarah “Medan Area.”
Dalam pendapat berbeda diringkaskan, antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai suatu kesepakatan untuk mengatur rakyat sipil di semua negeri Indonesia yang baru merdeka, termasuk di Kota Medan. Pengaturan bersifat pemerintahan yang diatur oleh Inggris melalui NICA. Tokoh dalam peristiwa Medan Area dan Nica adalah Achmad Tahir (Indonesia) dan Brigjen T.E.D. Kelly (Inggris).
Baca juga:
Gedung Nasional Medan (GNM) Sejak 1935
Jika dirasa semua hal yang “berbau” sejarah di Kota Medan termasuk bangunan, prasasti, dan tempat bersejarah dianggap feodal dan simbol amarah yang tidak terungkap terhadap kompeni. Maka, bongkar dan robohkan saja semuanya. Tetapi, setelah itu Kota Medan tidak lagi punya apa-apa. Maukah kita seperti itu? Jawab!
Akhir kalam, Kota Medan yang siap menyongsong MEA (Baca juga: Kota Medan Metropolitan, Masyarakat Ekonomi Asean) ternyata menyimpan pekerjaan rumah yang mendasar. Di satu sisi harus berpacu mempercepat laju ekonomi kota, di satu sisi sudah seyogianya berpikir untuk menghargai sejarah. Pepatah bijak mengatakan, “Untuk memperbaiki masa depan, kita harus mengetahui masa lalu.”
Baca juga: Hati-Hati Banyak ‘Ular’ di Pasar Ular, Pajak Sambu Medan
Komentar