Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah orang Karo yang beragama Islam. Berperang dan berjuang melawan kompeni selama 23 tahun (1872-1895). Politik perjuangan Datuk Badiuzzaman Surbakti dikenal dengan sebutan “Perang Sunggal.” Namun, sangat disayangkan nama beliau tidak pernah disebut secara lisan dan tertulis sebagai pahlawan nasional penumpas keji kejahatan kompeni.
Padahal, kompeni sendiri mencatat betapa hebat “Perang Sunggal” sehingga membuat kewalahan, habis akal, habis bekal, dan habis-habisan.
Kini, barangkali satu-satunya jejak untuk menelusuri biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti dimulai dari Masjid Raya Datuk Badiuzzaman Surbakti Jalan PDAM Sunggal No. 1 Medan. Masjid Raya Datuk Badiuzzaman dibangun tahun 1885 (1306 Hijriah). Jadi, lebih tua Masjid Raya Datuk daripada Masjid Raya Al-Mashun.
Nama asli Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti. Lahir di Kerajaan Sunggal yang kala itu bernama Serbanyaman, sekarang menjadi Kecamatan Medan Sunggal. Ayah Datuk Badiuzzaman adalah Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti, seorang Raja Sunggal yang termahsyur dan ibunya bernama Tengku Kemala Inasun Bahorok.
Ketika Datuk Abdullah Ahmad Surbakti (ayah dari Datuk Badiuzzaman Surbakti) meninggal dunia pada tahun 1857. Kala itu, usia Datuk Badiuzzaman Surbakti berusia 12 tahun.
Dalam perjalanan hidup, Datuk Badiuzzaman Surbakti menikah dengan Ajang Olong Besar Hamparan Perak. Dikaruniai tujuh orang anak, lima anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-laki Datuk Badiuzzaman bernama Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Alif, Amah atau Olong Beru Surbakti, dan Aja Ngah Haji Surbakti. (Sumber: Biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti, Universitas Sumatera Utara, tanpa tahun.).
Sebagai Raja Sunggal VII, Datuk Badiuzzaman Surbakti berhasil menyatukan hati dan jiwa masyarakat Karo, Melayu, Aceh, dan Gayo. Perjuangan Datuk Badiuzzaman Surbakti mengusir penjajah Belanda tidak dilakukan sendirian melainkan secara “berjamaah” bersama-sama dengan Datuk Sulung Barat Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Jalil Surbakti, Datuk Muhmmad Dini Surbakti.
Sebab-musabab pecah perang dengan kompeni Belanda karena Datuk Badiuzzaman Surbakti tidak tahan melihat penderitaan rakyat Sunggal yang teraniaya gara-gara pencaplokan lahan subur pertanian yang akan digunakan untuk perkebunan tembakau.
Adapun teknik dan strategi perang yang diterapkan oleh Datuk Badiuzzaman dan pasukan adalah pola gerilya, militan, dan menghindari kontak langsung. Bukan karena takut tetapi memilih cara cerdik mengingat persenjataan kompeni jauh lebih hebat. Aksi perusakan sabotase di sejumlah tangsi kompeni dengan cara membakar dan membubuhkann stempel musuh berngi (musuh malam) adalah hal lazim yang dilakukan Datuk Badiuzzaman dan pasukan Kerajaan Sunggal.
Semasa Datuk Badiuzzaman Surbakti (Raja Sunggal VII) menjadi pemimpin. Ia membangun sebuah masjid untuk tempat beribadah dan bermusyawarah. Masjid inilah yang konon katanya terbuat dari putih telur dicampur pasir sungai karena pada saat itu semen dilarang oleh Belanda masuk ke teritori Sunggal.
Di sekitar Masjid Raya Badiuzzaman Surbakti terdapat kuburan kerabat lain dari keluarga Kerajaan Sunggal. Kecuali, makam dari Datuk Badiuzzaman Surbakti. Di sinilah yang membuat mata rantai sejarah Kerajaan Sunggal terputus dan gelap tidak ketahuan lagi rimbanya. Padahal Perang Sunggal 23 tahun (1872-1895) termasuk perang terlama di antara yang lain seperti perang Imam Bonjol dan Diponegoro.
Kisah heroik Datuk Badiuzzaman Surbakti harusnya terus dikaji dan ditulis ulang. Kalau perlu difilmkan, dibukukan atau dibikin komik supaya generasi muda mengetahui bahwa di Kota Medan Sunggal pernah berdiri kerajaan Sunggal dipimpin oleh Raja Sunggal VII Datuk Badiuzzaman Surbakti.
Raja sekaligus seorang pemimpin hebat yang dapat menyatukan hati dan jiwa masyarakat Karo, Melayu, Aceh, dan Gayo.
Baca juga: Masjid Raya Al-Mashun
Komentar