Rabu malam 22 Desember kru SeMedan.com berniat berangkat menuju Peureulak Aceh Timur untuk mencari bahan liputan tentang Kerajaan Kesultanan Peureulak yang sudah berumur 1000 tahun. Peureulak adalah wilayah masuknya Islam di Indonesia pertama kali, jauh hari sebelum nama Indonesia ada.
Ingat, penyebutan istilah Nusantara untuk penisbatan terhadap wilayah Indonesia secara keseluruhan adalah keliru. Nusantara tidak ada, yang ada adalah nama-nama wilayah dari kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja atau Sultan.
Peureulak atau dibaca Perlak adalah kota lintas di Aceh Timur. Lokasinya sangat strategis karena dilalui oleh Jalan Lintas Medan-Banda Aceh. Terkadang ke Peureulak ada rasa serba salah. Jika naik bus malam yang mewah atau ekonomi dari Medan-Peureulak dengan waktu tempuh sekitar 4-5 jam sampai di Peureulak pasti kepagian.
Sementara kalau naik minibus jumbo atau L 300 dengan pemberangkatan pagi pertama semisal naik Rahmat atau Impala paling sampai Kota Langsa saja dan harus menyambung angkutan lagi ke Peureulak.
Akhirnya, pagi 23 Desember 2015 saya naik bus Kurnia dengan pemberangkatan pertama jam 8 pagi. Sudah siang tetapi itu waktu yang paling cocok untuk berangkat dan tiba di Peureulak pas Zuhur, tanpa harus menyambung kendaraan lagi. Bus sudah mulai berjalan, saya tidak sempat beli karcis (tiket). Bayar di dalam bus dan harga tiket lebih murah.
Jangan bandingkan antara naik Bus Aceh Terbaru fasilitas wifi gratis, AC-Toilet dan tiket perjalanan diprint komputer. Bus yang saya naiki bus tahun 90-an, dan pada masa itu bus paling cantik serta lajunya super cepat alias Patas (bus umum penumpang cepat waktunya dan terbatas sesuai dengan jumlah tempat duduk).
Di dalam bus saya nikmati sekali perjalanan melintasi jalan lintas Medan-Banda Aceh. Anehnya, sudah ratusan kali naik bus Medan-Aceh perasaan mual ingin muntah kadang masih menyergap lalu hilang lagi. Satu hal yang paling bikin palak, sudah tau bus AC, sopir dan kernet kadang-kadang merokok.
Bisa dibayangkan betapa tidak sehatnya udara dalam kabin bus. Saya kalau disuruh milih, lebih baik saya naik bus tanpa AC dengan kaca jendela terbuka lebar dan angin menampar keras di jiwa, plonk!
Pemandangan kanan-kiri, sepanjang Jalan Lintas Medan-Banda Aceh berganti-ganti sebentar hamparan pokok kelapa sawit kemudian rumah-rumah di tepi tebing. Tempat-tempat di pinggir jalan sudah mulai ramai terlebih saat memasuki Kota Stabat, Tanjung Pura, dan Aceh Tamiang Kuala Simpang. Di sana-sini terasa derap laju pembangunan dengan banyaknya ruko-ruko yang membuat setiap kota tampak serupa dan seragam.
Maha Suci Allah, Indahnya Bumi Aceh. Sungai, laut, dan jalan-jalan terasa panjang dan jauh sekali. Sesekali nampak sampan tua bertambat di tangkahan. Bus terus melaju pelan-pelan Kota Medan terlupakan untuk sementara. Karenanya, saya tidak mengerti jika ada orang yang mengatakan sudah pernah keliling Aceh, keliling Indonesia.
Jangan percaya dengan orang yang mengucapkan pernah keliling Indonesia. Sebab, itu dusta yang dipelihara. Yakinlah, seumur hiduppun keliling Aceh tidak akan selesai, apalagi keliling Indonesia. Aceh itu luas sekali jangan taunya cuma tempat wisata saja seperi Meulaboh, Banda Aceh dan Titik Nol Sabang. Coba berjalan ke tempat yang tidak biasa di Aceh. Wilayah terbesar di Aceh adalah Aceh Timur.
Lamunan saya terputus, Kota Peureulak sudah di tapuk mata pandangan. Perjalanan ini belum usai, Round Trip Medan-Peureulak Aceh Timur masih berlanjut. Lon jakwo gampong sambil mencari bahan liputan di Kesultanan Peureulak 1000 tahun lalu.
Baca selanjutnya: Rest Area Jalan Lintas Medan-Banda Aceh, Masjid Kubah Hitam Peureulak
Baca juga: Bus Aceh Terbaru, Paduan Antara Kemewahan dan Kenyamanan
Komentar