Setibanya di Kota Langsa dan bermalam di Meunasah At-Taqwa Link PJKA Gampong Jawa Jalan Ahmad Yani. Ke-esokan harinya, berjalan sejenak mengitari Taman Bambu Runcing dan Pendopo. Di sekitaran taman dan pendopo berdiri warung tenda, kafe taman, dan rumah-rumah kafe penjual minuman kopi.
Tampak muda-mudi sedang asyik browsing internet sembari menikmati lagu barat melalui pengeras suara. Cakap dan lingua franca yang dipakai muda-mudi tersebut bukan lagi bahasa Aceh, tetapi logat, lafaz dialek dan diftongnya masih Aceh.
Menjelang Maghrib, musik jalan terus sehingga suara mengaji di masjid kalah oleh suara musik. Pendek kata, rasa-rasanya bukan seperti berada di Aceh. Beginikah wajah Islam di Serambi Mekkah? Kota agama tanpa nuansa keagamaan telah berganti rupa dengan gemerlap lampu, musik, outlet, travel, dan pusat jajanan kuliner khas Aceh.
Menginap di Meunasah At-Taqwa Link PJKA Gampong Jawa Jalan Ahmad Yani memiliki kerisauan tersendiri. Jamaah yang shalat lima waktu sangat sedikit. Pemuda-pemuda setempat sampai pukul dua pagi duduk-duduk di teras meunasah tanpa melakukan amal-amal melainkan sibuk membicarakan basi-basi dunia sampai menjelang fajar. Kemudian ketika masuk waktu Subuh mereka langsung pergi menjauh.
Potret Aceh Timur dengan ibu kotanya Langsa adalah wilayah strategis. Aceh Timur memiliki populasi penduduk terbesar serta alam garapan minyak bumi dan kelapa sawit yang membentang mulai perbatasan Sumatera Utara. Hal ini berarti Langsa bisa menjadi kota mandiri yang dapat mengakomodir kebutuhan warga kotanya.
Idealnya, sebagai kota Islami nuansa-nuansa keber-agama-an juga tercermin dalam setiap suasana dan keadaan, terutama di pusat pertemuan kerumunan (crowd) seperti di Taman Bambu Runcing dan Pendopo.
Tetapi apa daya, entah di mana yang namanya pemberlakuan syariat Islam tersebut. Perempuan-perempuan (maaf) memakai kerudung/jilbab tetapi masih berjejak lekuk-lekuk tubuh yang dalam hal ini pria harus menundukkan pandangan. Jangan tengok dan toleh “benda-benda” macam itu, kalau tertengok wajah perempuan yang bukan muhrim. Maka, selama 40 hari hilang kenikmatan ibadah.
Mengunjungi Kota Langsa untuk kesekian kalinya, tetap saja memberi kesan mendalam. Tahun 1970-an saya lahir dan tinggal di Aceh Timur. Kemudian tahun 1980-an menetap di Kota Medan. Lalu tahun 1990-an menetap di Kota Bandung Jawa Barat. Tahun 2000-an kembali lagi di Medan. Kota-kota ini sangat berkesan dan memberi arti terutama sekali mengenai kehidupan sosial-masyarakat setempat, tradisi lisan-tulisan, dan kearifan budaya lokal.
Semoga kunjungan berikutnya ada terasa kesan istimewa. Semoga di kemudian hari, masjid-masjid penuh dan makmur. Laki-laki dewasa ramai-ramai memenuhi shaf shalat dan shalat berjamaah di masjid, di mana azan dikumandangkan sesuai dengan sunnah dan syariat. Wallahu A’alam.
Komentar