Ojeg atau RBT (Rakyat Banting Tulang) dari Kota Peureulak menuju Rantau Panjang berlari kencang sekali. Kacamata hampir lepas karena benturan angin yang menderas dari arah berlawanan. Ajaibnya, semakin laju sepeda motor, hati semakin senang, tak ada perasaan ciut takut. Terlebih setelah melewati Kampung Besar, mata dimanjakan dengan hamparan sawah hijau di daerah Gampong Beringin dan bangau putih yang bertengger lucu di punggung lembu.
Dalam boncengan sepeda motor RBT, udara terasa menghancurkan kepenatan. Sekitar satu jam sampai di Kota Rantau Panjang Peureulak Aceh Timur bertepatan dengan waktu Ashar. Di Rantau Panjang Peureulak seorang kerabat sudah menunggu. Kami bersalaman dan berbicara sedikit setelah itu berpisah dan janji akan bertemu lagi Maghrib nanti.
Setelah shalat Ashar di Meunasah Pos XI Rantau Panjang Peureulak rehat sejenak melempangkan kaki, pinggang, punggung dan minum air mineral secukupnya. Rebahan sambil leyeh-leyeh kemudian tertidur dan terbangun sudah dekat waktu Maghrib. Tak terasa waktu seperti peluru, baru saja terpikir untuk Pulang-Pergi Medan-Peurelak, tau-tau tertambat di Rantau Panjang Peureulak.
Baca juga: Perjalanan Round Trip Medan-Aceh Timur Peureulak, Naik Bus Tanpa Tiket
Sayup-sayup terdengar anak-anak hendak mengaji membentangkan ambal panjang. Ada juga yang menyapu-nyapu meunasah dan membersihkan kamar mandi. Dan masih ada setengah jam sebelum masuk waktu Maghrib. Saya manfaatkan untuk menyapa anak-anak Rantau Panjang Peureulak dengan origami. Seorang anak baru datang langsung bertanya kepada kawannya,
“Pue nyan hai?”
“Nyoe origami”
“Pue origami?”
“Seni lipat kureutai”
“O”
Sudah lazim di manapun berada, anak-anak senantiasa mengerumuni terlebih ketika secarik kertas origami saya lipat dengan bentuk-bentuk sederhana seperti: bangbang, cicem, cangguek, rumoh, dan lain-lain. Betapa gembiranya hati anak-anak, suasana mencair, habis baju saya ditarik sana-sini minta dibuatkan. Tak sempat saya foto mereka ketika antusias latihan melipat kertas. Berulang kali menanyakan saya dari mana, berulang kali saya jawab dari Medan.
Azan berkumandang, anak-anak masih antusias mau belajar origami. Tetapi segera saya hentikan. Saat Shalat Maghrib berlangsung, tak di Kota Medan, tak di Aceh, anak-anak tetaplah anak-anak, ribut sekali, gaduh-riuh seperti angin puyuh.
Di Aceh seorang ustad ulama disebut Teungku, sedangkan untuk yang memiliki garis keturunan bangsawan disebut Teuku. Teungku juga merupakan panggilan kepada sesama laki-laki dewasa. Kalau dalam Melayu disebut Tengku untuk yang memiliki trah bangsawan.
Setelah Shalat Isya selesai, lagi-lagi anak-anak mengaji menyerbu untuk belajar origami. Sewaktu saya katakan, besok pulang ke Medan mereka seketika kecewa sedikit dan ingin menangis karena pertemuan begitu singkat perpisahan begitu cepat. Sekali lagi, origami terbukti dapat menjembatani sebuah komunikasi.
Dan tidak lama kemudian, kenalan saya datang. Saya minta waktu sekejap untuk berbagi origami. Seketika kertas origami habis dibagikan. Di Rantau Panjang Peureulak sebenarnya ada tersedia kertas origami. Tetapi, tidak pernah ada orang yang mengajarkan melipat kertas secara sederhana, mudah, dan menghibur. Metode ini diajarkan juga di kelas SANUBARI (Sarana Anak Belajar Mandiri).
Keperluan saya di Aceh Rantau Panjang Peureulak sudah selesai. Bahan-bahan untuk SeMedan.com sudah tercukupi. Besok saya harus kembali ke Medan bertepatan dengan Hari Maulid Nabi Muhammad, Hari Libur Sekolah, Natal, Liburan Tahun Baru, dan Peringatan 11 tahun Tsunami Aceh. Tsunami yang dalam bahasa Jepang, tsu = pelabuhan, nami = gelombang (harbor wave).
Mari bicarakan Aceh lebih baik agar tidak ada lagi air mata Aceh yang meleleh. Pendidikan lebih baik dan kreatif untuk anak-anak Aceh. Inilah alasan mengapa saya lebih suka berkunjung bukan ke tampat wisata tetapi tempat di mana manusia berada. Sungguh terharu dan menitik jua air mataku Bah!
Ya Allah Ya Tuhanku, neubri keuh lon beu beurkat umu, udep saree mate sjahid. Gemilang datang padamu, Acehku selalu di kalbu.
Komentar