Belakangan ini sulit sekali mencari suasana cerah di Kota Medan. Setiap hari hujan mengguyur dan air menggenang di sejumlah ruas kota. Banjir seperti tontonan yang memilukan. Daripada merepet (bercakap yang bukan-bukan) dan mencibir kinerja pemerintah. Lebih baik menghilangkan stress dan “tancap gas” menuju wilayah sub-urban Kota Medan yakni, Pancur Batu dan Sembahe. Kali ini ke Sembahe Berastagi bukan dalam rangka mandi-mandi melainkan survei untuk bahan liputan SeMedan.com.
Jika melintasi pajak Pancur Batu terutama akhir pekan, Hari Minggu dan hari libur. Jangan harap kendaraan bisa berjalan lancar. Macat menyeruak di sekitar pajak Pancur Batu. Tetapi, hari biasa lalu-lintas ramai lancar, elok permai sepanjang jalan. Kanan-kiri banyak pepohonan teduh dan udaranya sejuk. Sesekali hiburan di perjalanan musik “Mbaba Kempil” terdengar di dalam mobil bersahutan dengan irama kulcapi (gitar khas Karo senarnya berbahan ijuk).
Semasa VOC kompeni berkuasa, nama Pancur Batu lebih dikenal dengan nama Arnhemia. Sampai sekarang ada sebuah perkampungan Arnhemia di Pancur Batu. Nama Arnhemia merujuk kepada nama satu kota di Holland, Belanda. Dahulu semasa “Deli Maatshappij” masih beroperasi ada kereta api yang menghubungkan antara Kota Medan dan Pancur Batu. Kereta api ini membawa hasil perkebunan Tembakau Deli di wilayah Tuntungan.
Baca juga: Tembakau Deli, Bukan Tembakau Gorila atau Cerutu Kuba
Pancur Batu-Tuntungan-Sembahe masih berada dalam satu ruas jalan Djamin Ginting menuju Tanah karo Berastagi. Jalan Djamin Ginting adalah jalan terpanjang di Kota Medan dan Deli Serdang. Memasuki kawasan Pancur Batu sampai seterusnya, bentuk jalan berliku dan berkeluk mendaki.
Bagi kendaraan Sinabung atau Sumatera Transport (angkutan umum rute Medan-Berastagi), semakin berkeluk suatu jalan, semakin kencang ia berlari di tikungan. Dahulu penumpang boleh naik di atas atap. Kini tidak boleh lagi, bisa-bisa ditangkap polisi. Ditangkap bukan hanya sopirnya tetapi juga sak mobil-mobilnya digelandang sama petugas.
Merenung dan berpikir sambil melakukan perjalanan sungguh nikmat. Apalagi menuju ke sumber muara ilmu seperti Tanah Karo. Di Sumatera Utara wilayah Tanah Karo termasuk yang terluas dengan hamparan sungai, pegunungan subur, dan aneka ragam hayati fauna dan flora serta budaya yang kaya filosofi tanpa mengenal kasta. Karo juga sudah mengenal aksara sejak lama.
Marga-marga dalam masyarakat Karo termasuk yang terbesar di seluruh Indonesia. Terdapat lima marga besar dalam identitas masyarakat Karo di antaranya: Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Perangin-angin. Di dalam masing-masing lima marga besar terdapat marga lagi yang melahirkan banyak marga.
Dalam masyarakat Karo terdapat sistem kekerabatan yakni, kalimbubu, anak beru, dan senina. Kemudian dalam marga-marga Karo ada yang menjadi Melayu. Entah Karo ter-Melayu-kan, entah pula Melayu yang ter-Karo-kan.
Baca juga: Mencari Melayu di Tanah Deli, Sebentuk Retrospeksi
Selain soal budaya, Tanah Karo sudah lama menjadi idaman untuk bertamasya atau petirahan (refreshing). Terlebih lagi, banyak sekali pemandangan hamparan bukit dan sungai-sungai yang mengalir deras dan indah seperti di Sembahe dan Kutalimbaru.
Baca juga: Pemandian Sembahe Berastagi, “Surga Kecil” yang Tersembunyi dan Pemandian Babar Sari Kutalimbaru
Akhir kata, biasanya orang Medan ke Sembahe untuk mandi-mandi di Sungai Sembahe. Tetapi kali ini, penulis sekedar berkendara menuju Pancur Batu dan Sembahe. Kota Medan sedang cerah gerah dan bergairah, waktunya jalan-jalan bukan di akhir pekan. Barangkali sebentar lagi mendung menghitam mengantarkan hujan. Mejuah-juah.
Komentar