Dengan mengucap Bismillah dan berpegang kepada kalimat tauhid, maka ekspedisi mencari Sungai Sengkol, Sungai Tengkorak, dan Sungai Beras dimulai. Berkendara sampai ufuk terjauh melewati perkampungan Mencirim dan memasuki wilayah Bumi Maju Jaya Jalan Macan, belum juga bertemu dengan sungai yang dicari. Sungai Sengkol ada lokasinya, tetapi Sungai Tengkorak dan Sungai Beras tidak ada atau tepatnya belum berjumpa.
Di Sungai Tengkorak inilah konon terdapat mata pusaran air seperti undur-undur tornado yang menyedot benda yang ada di permukaan sungai. Tidak tau pasti ada berapa jumlah tengkorak manusia dijebloskan sebagai tumbal. Oleh karena jalan pulang sudah terlalu jauh sementara di depan mata jalan terbentang luas penuh tanya dan sangat menggoda untuk diteruskan. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Tanah Seribu, Binjai Selatan via Kebun Jagung Namoru Bejulu Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.
Sepanjang perjalanan, mendung mengapung di awan-awan seakan hendak hujan dengan sangat lebat. Tetapi, sudah tekad SeMedan untuk merengkuh tempat-tempat yang kata orang Melayu dan Karo disebut ‘keras‘ (angker) untuk mencari dan menyibak tabir cerita yang hidup di masyarakat setempat.
Sesekali energi-energi mistis terbawa dalam suasana. Di antara hamparan jagung ada juga rumah penduduk. Dari keterangan penduduk inilah didapat bahwa di ujung sana ada setapak jalan menuju Tanah Seribu, Binjai Selatan.
Tidak ada patok jalan atau plang atau apalah yang bisa menuntun orang sampai di tujuan tanpa tersasar. Penduduk kampung sudah hafal jalan setapak berkelok, berbatu, becek, dan pekuburan. Inilah nikmatnya perjalanan menuju tempat yang bukan tempat wisata untuk kemudian menuliskannya.
Entah ke mana saja bersambungnya jalan dan tidak ada manusia seorang pun yang bisa ditanya terlihatlah sebuah nisan besar yang ternyata dari dekat merupakan tugu penanda dari Kementerian Sosial. Hati sudah lega berarti pemukiman penduduk sudah dekat.
Antara kebun jagung dan pokok-pokok sawit dan ladang penduduk berdekatan. Sesekali bertemu dengan tentara berpakaian loreng dan anak-anak yang menunggangi lembu. Berjumpa juga dengan masjid mungil tetapi di sekitar teras masjid ada anjing kampung. Tidak jadi singgah dan langsung tancap gas karena khawatir hujan. Sebab, di langit awan bertudung gelap. Dan biji-biji gerimis mulai mengenai pelupuk mata.
Kemudian melewati titi berwarna kuning dengan rimbunan pokok bambu, dan kalau mata tidak waspada nyaris saja terlindas kuburan. Masyarakat Karo umumnya membuat kuburan di ladang-ladang atau kebun. Barulah sadar bahwa sepanjang jalan tadi yang dilalui melewati banyak kuburan-kuburan di hamparan ladang.
Lama berkendara, akhirnya sampai juga di jalan aspal yang menandakan “pasar hitam“ (jalan raya) sudah dekat. Aneh tetapi nyata adanya, tadinya tabir gelap hitam dan mendung tebal ketika melewati Kebun Jagung Namoru Bejulu. Kini masuk ke wilayah Tanah Seribu Binjai Selatan, cuaca panas terik, dan cerah.
Di Binjai Selatan inilah ada sebuah jalan yang mirip dengan nama jalan di Kota Medan namanya, Letjend Djamin Ginting. Lantaran cuaca bersahabat, perjalanan dilanjutkan menuju Kebun Lada, Binjai Utara. Sekalian mencari sisa hamparan perkebunan lada dan mengendus jejak peristiwa kelam revolusi sosial 1946. Mula-mula yang dicari perkebunan lada dan inipun sudah tidak lagi berjumpa. Di Sumatera Utara, sejarah dan masa lalu seperti terbawa angin, hilang.
Komentar