Pertanyaan yang paling sering ditanyakan kepada saya selama halal bihalal Hari Raya Idul Fitri adalah “Mudik ke mana?” Pertanyaannya mudah tetapi sulit bagi sebagian orang untuk menjawab. Mudik adalah pulang ke asal-usul. Apakah asal-usul kelahiran atau kelahiran orangtua ataukah tempat orangtua tinggal menetap, ataukah pulang ke rumah batin yang tidak ada hubungan sama sekali dengan tanah kelahiran tetapi jiwa merasa damai di situ.
Barangkali, manusia terlahir “asli” ketika mati ia menjadi “kutipan.” Dalam jasad yang berdebu mengandung banyak kehidupan. Demikianlah, “Urip sejatiné gawé urup.” Tak tau di mana lahir dan dikubur kelak.
Terpenting, memberi api kehidupan dan manfaat bagi orang banyak. Bukan hartanya, tetapi kemanfaatannya sebagai manusia yang dilihat oleh Tuhan.
Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk melepas rindu, temu kangen dan rangkuman pertanyaan dari sejumlah kolega melalui SMS, inbox FB, dan WhatsApp mengapa, “saya tidak mudik dan apakah saya kapok mudik?”
Tahun 1970-an saya lahir dan tinggal di Aceh Timur. Kemudian tahun 1980-an menetap di Kota Medan. Lalu tahun 1990-an menetap di Kota Bandung Jawa Barat. Tahun 2000-an menetap lagi di Medan.
Kota-kota ini sangat berkesan dan memberi arti terutama sekali mengenai kehidupan sosial-masyarakat setempat, tradisi lisan-tulisan, dan kearifan budaya lokal.
Jadi, jika ada yang bertanya ke mana saya akan pulang? Tidak tau. Sebab, ketika saya berada di Aceh, saya mudik pulang ke Medan. Ketika di Medan, saya pulang ke Aceh. Ketika di Bandung, saya mudik ke Medan. Dan ketika saya di Medan, saya akan mudik ke Bandung.
Adapun Kota Bandung bagi saya pribadi sangat dekat di hati. Anak pertama dan kedua lahir di Bandung, sementara anak ketiga lahir di Rumah Sakit Bandung di Kota Medan.
Apa yang orang rasakan ketika terjebak macet saat mudik, saya pernah merasakannya juga. Apakah saya kapok mudik, tidak! Tahun ini saya tidak mudik, mungkin tahun depan atau dua tahun lagi.
Saat ini, hidup di kota manapun, Bismillah saja dan tidak bersedih hati, khawatir tidak punya teman. Yakinilah, engkau akan menemukan seperti yang diungkap dalam peribahasa Sunda berikut ini :
Dulur jadi batur, Batur jadi dulur. Saudara seperti orang lain dan orang lain seperti saudara sendiri.
Komentar