Kondisi kaum bangsawan dan masyarakat Simalungun mengenaskan, kecemasan orang-orang China dan India, serta orang-orang Indonesia yang kelaparan dan merasa akibat republik. Hal ini bisa jadi menjadi jawaban untuk pertanyaan mengapa Negara Sumatera Timur didirikan.” (Sumber: Lentera Timur.com)
Peristiwa Sumatera Timur bukan semata untuk mengenang pembantaian keluarga bangsawan raja-raja Melayu dan pribumi pada masa itu, tetapi untuk instrospeksi dan retrospeksi jangan sampai peristiwa serupa terjadi, bukan saja untuk Melayu.
Namun untuk seluruh etnis di manapun di muka bumi, sebagaimana firman Allah SWT:
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya, dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia. Maka, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS Al-Maidah [5]: 32)
Tragedi Sumatera Timur 70 tahun silam menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda Sumatera Utara ke depannya seperti apa dan bagaimana.
Akhir kalam, semakin membaca, mengkaji kembali, melihat film dokumenter Revolusi Sosial Sumatera Timur 1946. Terasa lenguh, rebah merempuh bagai hati tidak bernadi. Asal debu pulang ke debu, asal Melayu pulang ke Melayu.
Tabik takzim!
Baca juga:
Mencari Melayu di Tanah Deli, Sebentuk Retropeksi
Komentar