Kuda lumping atau kuda kepang (jaran kepang) adalah tradisi seni tari yang menyatukan musik serta gerak energik, magis, mistis dan konon secara sengaja mengundang roh halus untuk merasuki sanubari, meletupkan api kemarahan, mengamuk entah untuk suatu tujuan apa, mengejar penonton yang berbaju merah dan lari pontang-panting, membelah kelapa dengan gigi, berjalan di atas bara, mengunyah kemenyan, menyantap kembang aroma setanggi, memakani kaca beling sambil matanya melotot juling, mengitari lapangan menunggangi kuda tunggangan yang berkepang berbahan ayaman bambu, sesekali terdengar suara pecutan cambuk cetar-ceter, menderas menepis angkasa.
Seni kuda lumping umum diperagakan oleh masyarakat Jawa, baik di Pulau Jawa sendiri maupun di seluruh Indonesia yang masih ada keturunan Jawanya. Di Kota Medan saja seni kuda lumping dipertontonkan di jalan-jalan secara serampangan laiknya seperti sebuah performan seni jalanan.
Sebagian kelompok-kelompok kuda lumping yang terdiri dari orang-orang muda tersebut kadang-kadang tidak memakai kostum, berdandan seadanya dan cukup dengan membakar kemenyan lalu berteriak melotot dan melecutkan pecut di atas tanah. Tidak peduli bagaimana irama musiknya yang penting atraksinya.
Sedangkan pemain kuda lumping yang lain mengenakan peralatan lengkap mulai dari kostum serba hitam berlarik merah, jaran kepang (kuda-kudaan yang terbuat dari nyaman bambu), pecut, alat musik kendang (gendang), gong, gamelan pelog, kenong dan selompret (terompet khas kuda lumping).
Sekarang umumnya properti alat musik kuda lumping jauh lebih modern memakai sound elektrik. Mereka bisa tampil di mana saja terutama di jalanan sambil mengharap uluran sumbangan sukarela dari penonton. Kuda lumping nasibnya pontang-panting.
Seni kuda lumping yang tadinya adalah sebuah tarian kehormatan untuk menyambut tamu-tamu kerajaan kini lebih “mencair” dan bisa disaksikan oleh siapa saja. Kalau di Kota Medan anak-anak pun sudah biasa menonton kuda lumping dan celakanya ulah pemain kuda tersebut dengan cepat ditiru oleh anak-anak.
Anak-anak umumnya meniru gerakan penari kuda lumping sambil matanya melotot, tangan dan kaki mengejang seperti orang kesurupan. Setelah puas menakut-nakuti kawannya mereka tertawa-tawa. Tetapi dalam atraksi sungguhan pemain kuda lumping benar-benar memakan kaca beling, mengerkah (menggigit) paku dan ajaibnya pencernaan mereka tidak luka dan rusak.
Setelah kerasukan dan berada dalam ruang jiwa transedental pemain kuda lumping bertingkah seperti hewan. Kemudian apabila pawang memerintahkan untuk diam, maka pemain kuda lumping akan menurut dan terduduk lemas. Sulit menjelaskan hal supranatural secara ilmiah tetapi demikianlah yang terjadi.
Dalam beberapa keadaan kuda lumping disebut pula jaranan thek ponorogo, jaranan Kediri, jaranan sentherewe Tulungagung, jaranan Turonggo Yakso,Trenggalek, jaranan Buto banyuwangi, jaranan Dor Jombang, jaran Sang Hyang Bali, jathilan Dipenogoro, Yogya dan Jawa Tengah.
Penggambaran bagaimana potret kehidupan pemain kuda lumping barangkali dapat kita simak juga dari lagu Elvi Sukaesih & Iwan Fals-Sawung Jabo. Liriknya sebagai berikut:
Elvi Sukaesih
Ada suatu permainan
Permainan unik sekali
Orang naik kuda, tapi kuda bohong
Namanya kuda lumping
Anehnya permainan ini
Orangnya bisa lupa diri
Dia makan rumput, juga makan kaca
Aduhai ngeri sekali
Itu kuda lumping, kuda lumping
Kuda lumping, kesurupan
Iwan Fals-Sawung Jabo
Kuda lumping nasibnya nungging
Mencari makan terpontang panting
Aku juga dianggap sinting
Sebenarnya siapa yang sinting?
Berputar putar dalam lingkaran
Menari tak sadarkan diri
Mata terpejam mengunyah beling
Mempertahankan hidup yang sulit
Kuda lumping nasibnya nungging
Mencari makan terpontang panting
Itulah kuda lumping
Terlepas apakah seni kuda lumping dibolehkan dalam agama atau tidak. Tetapi, profesi kuda lumping yang bermata juling, nasibnya pontang-panting masih lebih terhormat daripada hidup meminta-minta dan menjadi maling di negeri sendiri.
Komentar